Jumat, 10 Desember 2010

Abu Darda. sahabat kaya berniaga denga ALLAH

Salah seorang di antara sahabat Rasulullah SAW yang utama ialah Abu Darda. Ia dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tapi hidupnya sederhana. Ia bahkan menjalani hidup sebagai sufi yang wara – menjauhi kehidupan duniawi, lebih mementingkan ibadah. Ia salah seorang sahabat yang kehidupan ibadahnya menjadi teladan bagi sahabat Nabi yang lain.
Tak jelas, kapan Abu Darda, salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur itu, masuk Islam karena kejujurannya, banyak orang yang lebih suka berdagang dengannya ketimbang dengan pedagang lain. Sebab sebagai pedagang ia tidak pernah menipu.
Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku kesampingkan perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski setiap hari untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT.
Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT. Tak kurang, sejarawan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya.
Dalam bukunya, para sahabat yang akrab dengan kehidupan Rasul, ia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman. Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tara.”
Abu Darda mampu memadukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akherat.
Setelah meninggalkan perniagaan, belakangan ia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah.
“Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derajat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada uang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama.
Anak Durhaka
Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. Sebenarnya harta yang kamu miliki sekedar yang kamu telah manfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang membutuhkannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka pecayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allat SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.”
Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.”
Suatu hari, Abu Darda berkunjung ke Syiria, yang kala itu makmur, penduduknya hidup dalam gelimang kemewahan. Melihat kenyataan itu ia memberi peringatan. “Wahai warga Syiria, kalian adalah saudara seagama, tetangga dan pembela dalam melawan musuh bersama, tapi aku heran melihat kalian, mengapa kalian tidak punya rasa malu?” kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan, kalian bangun semua yang tidak kalian huni, kalian harapkan apa yang tidak kaliana dapat. Beberapa kurun waktu sebelum kalian, kaum Ad telah mengumpulkan dan menyimpannya, mereka memimpikan dan membina, lalu meneguhkan bangunan, tapi akhirnya semua binasa. Angan-angan mereka jadi fatamorgana, dan rumah mereka jadi kuburan belaka.”
Sebagai ahli hikmah, Abu Darda selalu terbuka untuk meneliti dan merenungkan kembali ibadahnya. Ia selalu mengingatkan orang akan perilaku palsu, karena kepalsuan melemahkan Iman, merasa lebih dari orang lain dan sombong. Tentang hal ini ia berkata, “kebaikan sebesar Zarah (butiran kecil) dari orang yang bertaqwa lebih berat dan bernilai daripada ibadah setinggi gunung dari orang yang menipu diri sendiri.”
Ibadah menurut Abu Darda, bukan sekedar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan Ridla Allah SWT, melainkan juga senantiasa rendah hati, mengingat kelemahan diri sendiri. Ia berkata, “carilah kebaikan sepanjang hidupmu, sebab Allah SWT mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Mohonlah kepada Allah SWT agar ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu, serta menghilangkan rasa tidak tentram di hatimu.”
Itulah beberapa nasehat Abu Darda yang penuh dengan cahaya hikmah dan kebeningan hati. Banyak ulama yang menyatakan, Abu Darda adalah salah seorang peletak fondasi Tasawuf. Karena lebih suka bersunyi diri, sampai di akhir hayatnya orang tidak tahu kapan ia wafat dan dimana dikebumikan. Sebab hidupnya memang hanya untuk Allah SWT, “Berniaga” dengan Allah, dan hanya Allah SWT yang mengetahui segala hal mengenai dirinya.

Al Barra bin Malik, Ksatria pecinta mati syahid

Dia adalah salah Seorang di antara dua hersaudara yang hidup mengabdikan diri kepada Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam yang tumbuh dan berkembang bersama masa.
Yang pertama bernama Anas bin Malik khadam Rasulullah shallallahu alaihi wasalam Ibunya yang bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul, sedang umurnya pada waktu itu baru sepuluh tahun, seraya katanya: “Ya Rasulallah … ! Ini Anas, pelayan anda yang akan melayani anda, doa’akanlah ia kepada Allah!”

Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu mendo’akannya, do’a mana tetap membimbing usianya yang panjang ke arah kebaikan dan keberkahan… . Rasul telah mendo’akannya dengan kata-kata berikut: –’·Ya Allah banyakkanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke surga….!”
Ia hidup, sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang banyak begitu pula Allah memberinya rizqi, berupa kebun yang luas dan subur, yang dapat menghalalkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun….!
Yang kedua dari dua bersaudara itu ialah Barra’ bin Malik…..Ia termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan bersemboyan Allah dan surga … ‘: Dan barang siapa melihatnya ia sedang berperang mempertahankan Agama Allah, niscaya akan melihat hal ajaib… !
Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra’ bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekalipun kemenangan termasuk tujuan …,tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid….Seluruh cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah suatu gelanggang pertempuran dalam mempertahankan haq dan melenyapkan bathil…..
Dia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama Rasul ataupun tidak …. Pada suatu hari teman-temannya datang mengunjunginya, ia sedang sakit, dibawanya air muka mereka lalu katanya: – “Mungkin kalian takut aku mari di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan menghalangiku mati syahid … !”
Allah benar-benar telah meluluskan harapannya, ia tidak mati di atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat……!
Kepahlawanan Barra’ di medan perang Yamamah wajar dan cocok dengan watak serta tabiatnya. Wajar untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai Umar mewasiatkan agar ia jangan jadi komandan pasukan, disebabkan keberaniannya yang luar biasa, keperwiraan dan ketetapan hatinya menghadang maut…Semua sifatnya itu akan menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak buahnya dan dapat membawa kebinasaan… !
Barra’ berdiri di medan perang Yamamah, ketika balatentara Islam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. Ia berdiri dan merasakan detik-detik itu, yakni saat sebelum panglimanya memerintahkan maju, amat lama sekali, bertahun-tahun layaknya … . Kedua matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menyelusuri seluruh medan tempur, seolah-olah sedang mencari-cari tempat bersemayam yang sebaik-baiknya untuk seorang pahlawan .. . . Memang tak ada yang menyibukkannya di antara segala urusan dunia, kecuali tujuan Yang satu ini!
Dimulai dengan berjatuhannya korban di pihak kaum musyrikin penyeru kedhaliman dan kebathilan akibat ketajaman dan tebasan pedangnya al-Barra’ yang ampuh …. Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan pedang mengenai tubuhnya dari tangan seorang musyrik, menyebabkan tubuh kasarnya jatuh ke tanah, sementara tubuh halusnya menempuh jalannya membubung ke tingkat yang tertinggi ke mahligai para syuhada tempat kembalinya orang-orang yang beroleh berkah… !
Itulah khayalannya ketika ia menunggu kamando.
Khalid mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”, maka majulah seluruh barisan yang bersatu-padu menuju sasarannya, dan maju pula peng’asyik maut Barra’ bin Malik.: ..
Ia terus mengejar anak buah dan pengikut si pembohong Musailamah dengan pedangnya, hingga mereka berjatuhan laksana daun kering di musim,rontok…. Tentara Musailamah bukanlah tentara yang lemah dan sedikit jumlahnya… bahkan ia adalah tentara murtad yang paling berbahaya….
Baik bilangan maupun perlawanan rerta perjuangan mati-matian prajuritnya, merupakan bahaya di atas semua bahaya…. !
Mereka menjawab serangan Kaum Muslimin dengan perlawanan yang mencapai puncak kekerasannya sehingga hampir-hampir mereka mengambil alih kendali pertempuran dan merubah perlawanan mereka menjadi serangan balasan ….Waktu itulah kegelisahan terssa merembes ke dalam barisan Kaum Muslimin. Melihat situasi ini, para komandan dan pimpinan pasukan sambil terus bertempur berdiri di atas pelana, berseru dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat dan meneguhkan hati.
Barra’ bin Malik mempunyai suara indah dan keras…. Ia dipanggil oleh panglima Khalid, dimintanya untuk buka suara…….Maka Barra pun menyerukan kata-kata yang penuh gemblengan semangat dan kepahlawanan, beralasan dan kuat….Wahai penduduk Madinah … ! Tak ada Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga… !”
Ucapan itu menunjukkan jiwa pembicaranya, dan menjelaskan watak akhlaqnya. Benarlah … yang tinggal hanyalah Allah dan surga! Karena di dalam suasana dan tempat seperti ini, tidaklah wajar ada fikiran-fikiran kepada yang lain walau kota Madinah, ibu kota Negara Islam, tempat rumah tangga, isteri dan anak-anak mereka! Sekarang tidak patut mereka berfikir ke sana! Sebab bila mereka sampai dikalahkan, maka tak ada artinya kota Madinah lagi… !
Kata-kata Barra’ ini meresap laksana …laksana apakah?
Setiap tamsil apapun tidaklah tepat, karena tidak sepadan dengan hasil yang ditimbulkannya. Maka baiklah kita katakan saja, kata-kata Barra’ ini telah meresap dan itu sudah cukup … ! Dan dalam waktu yang tidak lama, suasana pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula ….
Kaum Muslimin beroleh kemajuan sebagai pendahuluan bagi suatu kemenangan yang gemilang. Dan orang-orang musyrikin tersungkur ke jurang kekalahan yang amat pahit …. Pada saat itu Barra’ bersama kawan-kawannya berjalan dengan bendera Muhammad shallallahu alaihi wasalam hendak mencapai tujuan yang utama ….
Orang-orang musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan berlindung di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng pertahanan.
Pertempuran menjadi reda, dan semangat Muslimin agak surut. Jika begini naga-naganya, dengan siasat yang dipakai anak buah serta tentara Musailamah bertahan di perkebunan itu, mungkin suasana peperangan akan berbalik dan berubah arah lagi.
Maka di saat yang genting itu, Barra’ naik ke suatu tempat yang ketinggian, lalu berseru: ‘Wahai Kaum Muslimin, bawalah aku dan lemparkan ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu…!”
Bukankah sudah kukatakan kepada anda sekalian, bahwa ia tidak mencari menang tetapi mencari syahid … ? Ia benar-benar telah membayangkan bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi kehidupannya, dan bentuk yang terindah untuk kematiannya…! Sewaktu ia dilemparkan ke dalam kebun itu nanti, maka ia segera membukakan pintu bagi Kaum Muslimin, dan bersamaan itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan meogoyak-ngoyak tubuhnya, tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar memperlihatkan kemewahan dan keni’matannya untuk menyambut mempelai baru dan mulia……!
Barra’ rupanya tidak menunggu ia digotong dan dilemparkan, malah ia sendiri yang memanjat dinding dan melemparkan dirinya ke dalam kebun dan langsung membuka pintu yang terus diserbu oleh tentara Islam ….Akan tetapi mimpi Barra’ belum lagi terlaksana, tak ada rupanya pedang-pedang musyrikin yang sampai mencabut nyawanya, hingga tidak pula ia menemukan kematian yang selama ini didambakan……Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar radhiallahu anhu :
“Songsong dan carilah kematian, pasti akan mendapatkan kehidupan… !”
Memang tubuh pahlawan itu mendapat lebih dari delapan puluh tusukan dari pedang-pedang musyrikin menyebabkannya menderita luka lebih dari delapan puluh lubang, sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga dideritanya, dan Khalid sendiri ikut merawatnya di waktu itu. Tetapi semua yang menimpa dirinya ini belum lagi dapat mengantarkannya kepada apa yang dicita-citakannya …….
Namun yang demikian itu tidak menyebabkan Barra’ berputus asa…….
Kafir dan musyrik masih menyerang ….
Melintang menghalangi Agama Allah berkembang
Seruan jihad tetap berkumandang……
Jalan ke surga masih terbentang…
Dahulu Rasulullah meramalkan bahwa permintaan dan do’anya akan dikabulkan Allah. Tinggal baginya tetap berdo’a … memohon dikaruniai mati syahid, dan ia tak perlu buru-buru, karena setiap ajal sudah ada ketentuannya.
Sekarang Barra’ telah sembuh dari luka-luka perang Yamamah …. Dan kini ia maju lagi bersama pasukan tentara islam yang pergi hendak menghalau semua kekuatan kedhaliman ke jurang kehancurannya, yakni nun di sana…di mana masih berdiri dua kerajaan raksasa dan aniaya, yaitu Romawi dan Persi, yang dengan tentaranya yang ganas menduduki negeri-negeri Allah, memperbudak hamba-hambaNya dan mengintip kelengahan ummat Islam….
Barra’ memukulkan pedangnya dan di setiap tempat bekas pukulan itu berdiri dinding yang kukuh dalam membina alam baru yang akan tumbuh di bawah bendera islam dengan cepat tak ubahnya bagai timbulnya mata hari menjelang siang….
Dalam salah satu peperangan di Irak, orang-orang Persi mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat mereka lakukan sebagai perlindungan. Mereka menggunakan penggaet-penggaet yang diikatkan ke ujung rantai yang dipanaskan dengan api, mereka lempar dari dalam benteng mereka, hingga dapat menyambar Kaum Muslimin dan menggaetnya secara tiba-tiba sedang korban tidak dapat melepaskan dirinya.
Adapun Barra’ dan abangnya Anas bin Malik mendapat tugas bersama sekelompok Muslimin untuk merebut salah satu benteng-benteng itu. Tetapi tiba-tiba salah satu penggaet ini jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedang ia tidak sanggup memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan bernyala …. Barra’ menyaksikan peristiwa yang seram ini …. Dengan cepat ia menuju saudaranya yang sedang ditarik ke atas alat penggaet dengan talinya yang panas menuju lantai dinding benteng ….Dengan keberanian yang luar biasa dipegangnya rantai itu dengan kedua tangannya, lalu direnggut dan disentakkannya sekuat-kuatnya, hingga akhirnya ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, dan selamatlah Anas dari bahaya.
Bersama orang-orang sekelilingnya dilihatnya kedua telapak itu tidak ada lagi di tempatnya … ! Dagingnya rupa-rupanya telah meleleh karena terbakar dan yang tinggal hanyalah kerangkanya yang memerah coklat dan terbakai hangus… !
Sang pahlawan kembali menghabiskan waktu yang cukup lama pula untuk memulihkan luka bakarya sampai sembuh betul… !
Apakah belum juga datang masanya bagi si pencinta maut itu untuk mencapai maksudnya? Sudah, sekarang sudah datang masanya … ! Inilah dia pertempuran Tutsur akan datang, dan di sinilah balatentara Islam akan berhadapan dengan balatentara Persi, dan di sinilah pula Barra’ dapat merayakan pestanya yang terbesar ….
Penduduk Ahwaz dan Persi telah berhimpun dalam suatu pasukan tentara yang amat besar hendak menyerang Kaum Muslimin …. Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah agar mengirimkan pasukan tentara ke Ahwaz … dan menulis surat pula kepada Abu Musa al Asy’ari di Basrah agar mengirimkan juga pasukan ke Ahwaz, sambil berpesan dalam surat itu: “Angkatlah sebagai komandan pasukan Suhail bin ‘Adi dan hendaklah ia dampingi oleh Barra’ bin Malik… !”
Dan bertemulah pasukan yang datang dari Kufah dengan yang datang dari Basrah untuk menghadapi tentara Persi di suatu pertempuran yang seru dan seram. Di kalangan tentara Islam terdapat dua orang bersaudara utama yaitu Anas bin Malik dan Barra’ bin Malik ….Pertempuran dimulai dengan perang tanding satu ]awan satu; Barra’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persi …. Kemudian berkecamuklah perang yang baur di antara kedua pasukan dan dari kedua belah pihak berjatuhan korhan yang tak sedikit.
Sebagian shahabat mendekati Barra’ sementara perang sedang berlangsung itu; mereka menghimbaunya sambil berkata:
“Masih ingatkah engkau, hai Barra’ akan sabda Rasul tentang dirimu: Berapa banyak orang yang berambut kusut masai dan berdebu dan punya hanya dua pakaian lapuk hingga tidak diperhatikan orang sama sekali, padahal seandainya ia memohon kutukan kepada Allah bagi mereka, pastilah akan diluluskannya … ! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin Malik… !
Wahai Barra’ bersumpahlah kamu kepada Tuhanmu, agar Ia mengalahkan musuh dan menolong kita… !”
Make Barra’ mengangkat kedua tangannya ke arah langit dengan berendah diri lalu berdo’a: — “Ya Allah, kalahkan mereka….dan tolonglah kami atas mereka …,dan pertemukanlah daku hari ini dengan Nabi-Mu . !”
Dilayangkannya pandangannya yang lama kepada saudaranya Anas yang berperang berdampingan dengannya, seakan-akan hendak mengucapkan selamat tinggal ….Dan menyerbulah Kaum Muslimin dengan keheranian yang tak takut mati, suatu keberanian yang tak dikenal dunia kecuali dari mereka….Dan mereka pun beroleh kemenangan, suatu kemenangan yang nyata…!
Di tengah-tengah para syuhada yang jadi qurban pertempuran, terdapatlah Barra’ dengan wajahnya menampilkan senyuman, senyum manis saperti cahaya fajar. Tangan kanannya sedang menggenggam segumpal tanah berlumuran darah, yaitu darahnya yang suci …. Dan pedangnya masih tergeletak di sampingnya …. kuat tak terpatahkan, rata tanpa goresan ….
Musafir:itu telah sampai ke kampungnya…. Bersama-sama temannya yang syahid ia telah mencapai perjalanan hidup yang agung lagi mulia, dan mereka menerima panggilan dari Ilahi :
“Itulah surga yang Kami wariskan untuk kalian, sebagai balasan atas amal perbuatan kalian… !”

Ammar bin Yasir

Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga, lain dibesarkan dalam haribaannya dan jadi dewasa, kemudian dibawa ke dunia untuk jadi hiasan dan nur cahaya, maka’ Ammar bersama ibunya Sumayyah dan bapaknya Yasir, adalah beberapa orang di antara mereka….
Tetapi kenapa kita mengatakan tadi “seandainya”, seolah-olah itu hanya pengandaian belaka, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk Surga? Ketika Rasululiah saw. bersabda:
“Sabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah Surga!”
kata-kata itu diucapkannya bukanlah hanya sebagai hiburan belaka, tetapi benar-benar mengakui kenyataan yang diketahuinya dan menguatkan fakta yang dilihat dan disaksikannya ….
Yasir bin ‘Amir yakni ayahanda ‘Ammar, berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya …. Rupanya ia berkenan dan merasa cocok tinggal di Mekah. Bermukimlah ia di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah ….
Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan yang penuh berkah ini, kedua suami isteri itu dikaruniai seorang putera bernama ‘Ammar….
Keislaman mereka· termasuk dalam golongan yang mula pertama, sebagai halnya orang shalih;yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan sebagai halnya orang-orang shalih yang termasuk dalam golongan yang mula pertama masuk Islam, mereka cukup menderita karena siksa dan kekejaman Quraisy ….
Orang-orang Quraisy menjalankan siasat terhadap Kaum Muslimin sesuai suasana. Seandainya mereka ini golongan bangsawan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Abu Jahal orang yang menggertaknya dengan ungkapan: “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu padahal mereka lebih baik daripadamu ! Akan kami uji sampai di mana ketabahanmu, akan kami jatuhkan kehormatanmu, akan kami rusak perniagaanmu dan akan kami musnahkan harta bendamu!”
Dan setelah itu mereka lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit. Dan sekiranya yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala.
Maka keluarga Yasir termasuk dalam golongan yang kedua ini …. Dan soal penyiksaan mereka, diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah dan ‘Ammar dibawa ke padang pasir Mekah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa!
Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini amat ngeri dan`menakutkan, tetapi tidak akan kita paparkan panjang lebar sekarang ini. Insya Allah pada kesempatan lain akan -kita ceritakan pengurbanan dan- keteguhan hati yang ditunjukkan oleh Sumayyah bersama shahabat-shahabat dan kawan-kawan seperjuangannya di hari-hari yang bersejarah itu ….
Cukuplah kita sebutkan sekarang tanpa berlebih-lebihan bahwa syahidah Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh, yang dari awal hingga akhirnya telah membuktikan kepada kemanusiaan suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya seorang bunda kandung bagi orang-orang Mu’min di setiap zaman, dan. bagi para budiman di sepanjang masa ….
Rasulullah saw. tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri.’Dan rupanya demikian itu sudah menjadi kehendak Allah ….
Maka Agama baru, yakni Agama Nabi Ibrahim yang suci murni, suatu Agama yang hendak dikibarkan panji-panjinya oleh Muhammad saw, bukakiah suatu gerakan perubahan secara vertikal dan horizontal, tetapi merupakan suatu tata cara hidup bagi manusia beriman. Dan manusia beriman ini haruslah memiliki dan mewarisi bersama Agama itu secara lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan dan pengurbanannya….
Pengurbanan-pengurbanan mulia yang dahsyat ini tak ubahnya dengan tumbal yang akan menjamin bagi Agama dan ‘aqidah keteguhan yang takkan lapuk … .! Ia juga.menjadi contoh teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan dan kasih sayang…. Ia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat Agama, kebenaran dan kebesarannya….
Demikianlah, berlaku pula bagi Agama Islam, qurban dan pengurbanan ini. Makna ini telah dijelaskan oleh al-Quran kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat.
Firman Allah swt.:
Apakah manusia mengira bahwa mereha ahan dibiarkan mengatahan: “Kami telah beriman” padahal mereka belum lagi diuji?(Q.S. 29 al-’Ankabut:2)
Apakah halian mengira akan dapat masuh surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang tabah ?(Q.S. 3 Ali Imran: 142)
Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang Yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta.(Q.S. 29 al-’ankabut: 3)
Apakah kalian mengira akan dibiarhan begitu saja, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian?(Q.S. 9 Attaubat: 16)
Allah tiada hendah membiarhan orang-orang beriman dalam Keadaan kalian sekarang ini, hingga dipisahhan-Nya mana-mana yang jelek daripada yang baik.(Q.S. 3 Ali Imran: 179)
Dan mushibah yang telah menimpa halian di saat berhadapannya dua pasukan, adalah dengan idzin Allah, yakni agar terbukti baginya orang-orang yang beriman!”(Q.S. 3 Ali Imran: 166)
Memang, demikianlah Al-Qur’an mendidik putera dan para pendukungnya bahwa pengurbanan merupakan esensi atau sari dari keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan keshabaran, keteguhan dan pantang mundur, hanyalah akan membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan ….
Oleh sebab itu di kala sedang meletakkan dasarnya, memancangkan tiang-tiang dan mengemukakan model contohnya, hendaklah Agama Allah ini memperkukuh diri dengan pengurbanan jiwa dan memhersihkan jiwa dengan pengurbanan harta, maka terpilihlah untuk kepentingan mulia ini beberapa orang putera, para pemuka dan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi ikutan sempurna dan teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian!
Maka Sumayyah …,Yassir…,dan ‘Ammar dari golongan luar biasa yang beroleh barkah ini, adalah pilihan dari taqdir, yang dengan pengurbanan, ketekunan dan keuletan mereka itu, dapat memateri kebesaran dan keabadian Islam secara kuat dan kukuh ….
Telah kita katakan tadi bahwa Rasulullah saw. tiap hari berkunjung ke tempat disiksanya keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya …,sementara hatinya yang mulia bagaikan hancur karena santun dan belas kasihan menyaksikan mereka menerima siksa yang tak terderitakan lagi.
Pada suatu hari ketika Rasulullah saw. mengunjungi mereka, ‘Ammar memanggilnya, katanya:
“WahaiRasulullah, adzab yang kami derita telah sampai ke puncak”.Maka seru Rasulullah saw.:
“Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan "
“Sabarlah, wahai heluarga Yasir "
“Tempat yang dijanjikan bagi halian ialah Surga … .!”
Siksaan yang diami oleh ‘Ammar dilukiskan oleh kawan-kawannya dalam beberapa riwayat. Berkata ‘Amar bin Hakam:’Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa yang diucapkannya”
Berkata pula ‘Ammar bin Maimun:
“Orang-rang musyrik membakar ‘Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah saw. lewat di tempatnya lain memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda:
“Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh ‘Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim…!”
Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa ‘Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para penderanya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kedhaliman dan kekejannya…., semenjak hukuman bakar dengan besi panas, sampai disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka.
Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan kepadanya: “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”, lain diajarkan mereka kepadanya kata-kata pujaan itu, sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya …,maka hilanglah akalnya dan terbayanglah di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi …,hingga beberapa saat dirasakannya siksaan orang-orang musyrik terhadap dirinya sebagai obat pembalur luka dan suatu keni’matan juga ….!
Dan seandainya ia dibiarkan dalam perasaan itu agak beberapa jam saja, tak dapat tiada tentulah akan membawa ajalnya …
‘Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, ialah karena jiwanya sedang berada pada kondisi puncak. Tetapi sekarang ini, demi disangkanya jiwanya telah menyerah kalah, maka dukacita dan sesal kecewa hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya ….
Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar peristiwa yang’ mengharukan itu mencapai titik kesudahan yang amat luhur… Dan tangan wahyu yang penuh berkah itu pun terulurlah menjabat tangan’Ammar, sambil menyampaikan ucapan selamat kepadanya: “Bangunlah hai pahlawan .. · ·! Tak ada sesalan atasmu dan tak ada cacat”
Ketika Rasulullah saw. menemui shahabatnya itu didapatinya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya sabdanya:
“Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu …?”
“Benar’: wahai RasuIullah’: ujar ‘Ammar sambil meratap.
Maha sabda Rasulullah sambil tersenyum: “Jika mereka memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi ….!”
Lalu dibacakan Rasulullah kepadanya ayat mulia berikut ini:
Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan …(Q.S. 16 an-Nahl: 106)
Kembalilah ‘Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya: bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi, terjadilah dan ia tidak akan peduli. Jiwanya berbahagia, keimanannya di fihak yang menang! Ucapannya yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh al-Quran, maka apa lagi yang akan dirisaukannya….?
‘Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maha kukuh ….!
Setelah pindahnya Rasulullah saw. ke Medinah, Kaum Muslimin tinggal bersama beliau bermukim di sana, secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya.
Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini ‘Ammar pun mendapatkan kedudukan yang tinggi Rasulullah saw. amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketaqwaan ‘Ammar kepada para shahabat.
Bersabda Rasulullah saw:
“Diri ‘Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya…..!”
Dan sewaktu terjadi selisih faham antara Khalid bin Walid dengan ‘Ammar, Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci ‘Ammar, maka ia akan dibenci Allah! ”
Maka tak ada pilihan bagi Khalid bin Walid pahlawan Islam itu selain segera mendatangi ‘Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta ma’af ….!
Suatu peristiwa terjadi pula ketika Rasulullah saw. bersama para shahabat mendirikan mesjid di Madinah, yakni tiada lama setelah kepindahannya ke sana. Imam Ali karamallahu wajhah menggubah sebuah bait sya’ir yang didendangkan berulang-ulang diikuti oleh Kaum Muslimin yang sedang bekerja itu, dan baitnya adalah sebagai beribut:
“Orang yang memakmurkan mesjid nilainya tidak sama….
Sibuk bekerja sambil duduk di sini berdiri di sana ….
Sedang pemalas lari menghindar tertidur di sana….”
Kebetulan waktu itu ‘Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. Ia juga turut berdendang, mengulang-ulangnya dengan nada tinggi …. Salah seorang kawan menyangka bahwa ‘Ammar bermaksud dengan nyanyian itu hendak menonjolkan dirinya, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, sabdanya:
“Apa mahsud mereka terhadap ‘Ammar ….?
Diserunya mereka ke Surga, tapi mereka hendak mengajaknya ke neraha ….!
Sungguh, ‘Ammar adalah biji matahu sendiri… .!”
Jika Rasulullah saw. telah menyatakan kesayangannya terhadap seorang Muslim demikian rupa, pastilah keimanan orang itu, kecintaan dan jasanya terhadap Islam, kebesaran jiwa dan ketulusan hati serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan…..!
Demikian halnya ‘Ammar ….!
Berkat ni’mat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada ‘Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Hingga disebabkan tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya, maka Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai contoh teladan bagi para shahabat, sabdanya:
“Contoh dan ikutilah setelah kematianku nanti Abu Bakar dan Umar dan ambillah pula hidayah yang dipakai ‘Ammar untuk Jadi bimbingan!”
Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskannya sebagai berikut:
Ia adalah seorang yang bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru …,seorang yang amat pendiam dan tak suka banyak bicara ….
Nah, bagaimanakah kiranya garis kehidupan raksasa pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam, dan di waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang amat mengagumkan dan kebesaran yang luar biasa … ? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur dan Mu’min yang tulus serta pejuang yang berani mati ini ... ?
Sungguh telah diterjuninya bersama Rasulullah sebagai gurunya semua perjuangan bersenjata, baik.Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk … pendeknya semua tanpa keculali …. Dan tatkala Rasulullah telah mendahuluinya ke ar Rafiqul A’la, maka raksasa ini tidaklah berhenti, tetapi melanjutkan perjuangannya terus-menerus
Di kala Kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Persi dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad,’Ammar selalu berada di barisan pertama …, sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tak pernah meleset, ia sebagai seorang Mu’min yang shalih dan mulia tidak satu pun yang dapat menghalanginya dalam mencapai ridla Allah.
Dan tatkala Amirul Mu’minin Umar memilih calon-calon wail negeri secara cermat dan hati-hati bagi Kaum Muslimin, maka matanya tetap tertuju dan tak hendak beralih dari ‘Ammar bin Yasir …. Ia segera menemuinya dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas’ud sebagai ·Bendaharanya.
Dan kepada penduduknya Umar menulis sepucuk surat berita gembira dengan diangkatnya wali negeri baru itu, katanya:
“Saya kirim kepada tuan-tuan ‘Ammar bin Yasir sebagai ‘Amir, dan Ibnu Mas’ud sebagai Bendahara dan Wazir ….Kedua mereka adalah orang-orang pilihan, dari golongan shahabat Muhammad saw., dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar… .!”
Dalam melaksanakan pemerintahan,’Ammar melakukan suatu sistim yang rupanya tidak dapat diikuti oleh ouang-orang yang rakus akan dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya . · · · Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah kecuali keshalihan, zuhud dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, yaitu Ibnu Abil Hudzail, bercerita:
“Saya lihat ‘Ammar bin Yasir sewaktu menjadi ‘Amir di Kufah, membeli Sayuran di pasar lain mengikatnya dengan tail dan memikulnya di atas punggung, dan membawanya pulang….”.
Dan salah seorang awam berkata kepadanya sewaktu ia menjadi Amir di Kufah itu: “Hai yang telinganya terpotong!”, menghinanya dengan telinganya yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah. Tetapi jawaban amir yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari:
“Yang kamu cela itu adalah telingaku yang terbaik … ·
Karena ia ditimpa kecelakaan waktu perang fi sabilillah
Memang, telinganya itu putus dalam perang sabil di Yamamah · . .,yakni salah satu diantara hari-hari gemilang bagi ‘Ammar….Raksasa ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu barisan tentara Musailamatul Kadzab sehingga melumpuhkan kekuatan musuh … ·
Ketika dilihatnya gerakan Muslimin mengendor segera dibangkitkannya semangat mereka dengan seruannya yang gemuruh, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya · · · ·
Abdullah bin Umar r.a. menceritakan peristiwa itu sebagai berikut :
‘Waktu perang Yamamah saya lihat ‘Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru: “Hai Kaum Muslimin, apakah tuan-tuan hendak lari dari Surga …? Inilah saya ‘Ammar bin Yasir, kemarilah tuan-tuan…..!
Ketika saya melihat dan memperhatikannya, kiranya sebelah telinganya telah putus beruntai-untai, sedang ia berperang dengan amat sengitnya …!
Wahai, barang siapa yang masih meragukan kebesaran Muhammad saw., seorang Rasul yang benar dan guru yang sempurna, baiklah ia berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan shahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya: “Siapakah yang akan mampu mengemukakan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang Rasul mulia dan maha guru utama?”
Jika mereka menerjuni suatu perjuangan di jalan Allah, pastilah mereka akan maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari maut dan bukan merebut kemenangan ….!
Jika mereka para khalifah dan hakim-hakim pengadilan, maka mereka takkan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau mengadon tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagai dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar.
Dan jika mereka para pembesar, maka mereka takkan main dan merasa segan untuk memikul makanan yang diikat dengan tali di atas punggung mereka, seperti kita saksikan pada ‘Ammar; atau menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi menjalin daun kurma untuk kantong atau bakul sebagai yang diperbuat oleh Salman….!
Wahai, marilah kita tekurkan kening dan tundukkan kepala kita, sebagai ta’dhim dan penghormatan kepada Agama yang telah mengajari mereka semua, dan kepada Rasulullah yang telah mendidik mereka….dan sebelum Agama sertaRasulullah itu, terutama kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik ummat yang pernah dilahirkan sebagai teladan bagi seluruh manusia ….
Ketika itu Hudzaifah ibnul Yaman seorang yang ahli tentang bahasa rahasia dan bisikan ghaib, sedang berkemas-kemas menghadapi panggilan Ilahi menghadapi sekarat mautnya. Kawan-kawannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya: “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara ummat …?” Sambil mengucapkan kata-katanya yang akhir, Hudzaifah menjawab:
“Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, kauena sampai matinya ia tak hendak berpisah dengan kebenaran .. !”
Benar, ‘Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya …. Dan sekarang sementaua kita menyelusuri jejak langkahnya, dan-menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya, marilah kita pergi menghampiri suatu peristiwa besar …. ! Hanya sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan amat mengharukan itu, baik tentang keutamaan dan kesempurnaannya, tentang kemampuan dan keunggulannya, maupun tentang kegigihan dan kesungguhannya.
Marilah kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya, ialah ungkapan Rasulullah melagenai peristiwa yang akan menimpa ‘Ammar di kemudian hari!
Hal itu terjadi tidak lama setelah menetapnya Kaum Muslimin di Madinah. Dan Rasul al-amin yang dibantu oleh shahabat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina rumah dan mendirikan mesjid-Nya.
Hati yang beriman dipenuhi kegembiraan dan sinar harapan menyampaikan puji dan syukur kepada Allah…. !
Semuanya bekerja dengan riang gembira …,mengangkut batu, mengaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedang cakrawala bahagia bergema dipenuhi nyanyian mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu dan seronok:
“Andainya kita duduk-duduk berpangku tangan, sedang Nabi sibuk bekerja tak pernah diam ….
Maka perbuatan kita adalah perbuatan sesat lagi menyesatkan….!”
Demikian mereka bernyanyi dan berdendang. Lain alunan suara mereka menyanyikan lagu lainnya:
“Ya Allah, hidup bahagia adalah hidup di akhirat Berilah rahmat Kaum Anshar dan Kaum Muhajirat
Dan setelah itu terdengar pula lagu ketiga:
“Apakah akan sama nilainya… ?
Orang yang bekerja membina masjid Sibuk bekerja, baik berdiri maupun duduk
Dengan yang menyingkir berpangku tangan …. ?”
Tak ubahnya mereka bagai anai-anai yangsedang sibuk bekerja, bahkan mereka adalah balatentara Allah yang memanggul bendera-Nya dan membina bangunan-Nya.
Sementara Rasulullah yang budiman lagi terpercaya tak hendak terpisah dari mereka, mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sukar …. dan alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan kegembiraan yang tulus dan hati yang pasrah …,sedang langit tempat mereka bernaung berbangga diri terhadap bumi tempat mereka berpijak …, pendeknya kehidupan yang penuh gairah sedang menyelenggarakan pesta pora yang paling meriah ….
Maka di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, kelihatanlah ‘Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke perletakannya.
Tiba-tiba “rahmat kurnia Allah” yakni Muhammad Rasulullah melihatnya, dan rasa santun belas kasihan telah membawa beliau mendekatinya, dan setelah berhampiran maka tangan beliau yang penuh barkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala ‘Ammar lain dengan pandangan yang dipenuhi nur ilahi diamat-amati wajah yang beriman diliputi ketenangan itu, kemudian bersabda di hadapan semua shahabatnya:
“Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka ….!”
Ramalan ini diulangi oleh Rasulullah sekali lagi…,kebetulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat ‘Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat sama terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah menjelaskan:
“Tidak,’Ammar tidak apa-apa, hanya nanti ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaha !”
Maka wahai, siapakah kiranya yang dimaksud dengan golongan tersebut ….
Dan bilakah serta di manakah terjadinya peristiwa itu …. ?
‘Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan tembus yang disingkapkan oleh Rasul yang utama. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik baiksiang maupun malam ….
Dan hari-hari pun berlalu …,tahun demi tahun silih berganti. Rasulullah saw. telah kembali ke tempat tertinggi…, disusul oleh Abu Bakar ke tempat ridla Ilahi …,lalu berangkatlah pula Umar pergi mengiringi …. Setelah itu khilafat dipegang oleh Dzun Nurain Utsman bin ‘Affan ….
Sementara itu musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah, berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah ….
Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh gerakan atau subversi ini, yang gerakannya merembes ke Madinah tak ubahnya bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh ummat Islam ….
Berhasilnya usaha mereka terhadap Umar membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melarnjutkannya, mereka sebarkan fitnah dan nyalakan apinya di sebagian besar negeri-negeri Islam. Dan mungkin Utsman r.a. tidak memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini hingga terjadilah pula peristiwa yang menyebabkan syahidnya Utsman dan terbukanya pintu fitnah yang melanda Kaum Muslimin….
Mu’awiyah * bangkit hendak merebut jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali karamallahu wajhah yang baru diangkat
*) Hampir setiap riwayat hidup para shahabat Rasulullah yang berusia lanjut yang dipaparkan dalam buku ini ada sangkut pautnya dengan Muawiyah. Oleh karena itu perlu diungkapkan serba singkat mengenai riwayat hidupnya.
Muawiyah dilahirkan dari keluarga hartawan dan pedagang besar yang menguasai perekonomian hampir seluruh semenanjung Arabia. Ayahnya bernama Shakhr bin dan dibai’at. Dan pendirian shahabat pun bermacam-macam, ada yang menghindar dan mengunci diri di rumahnya, dengan Harb, yang sehari-harinya disebut Abu Sufyan. Abu Sufyan inilah yang menjadi panglima besar kafir Quraisy pada perang Uhud, Khandaq dan pemimpin pemerintahan sampai Mekah dibebaskan oleh Rasuiullah.
Ibunya bernama Hindun bin Utbah, seorang wanita lincah, cekatan yang mempunyai andil besar dalam membantu suami di perang Uhud. Pada waktu perang Badar, Hindun kehilangan ayah, paman, saudara dan puteranya. Untuk menuntut bela terhadap keluarganya itu, ia mengupah Wahsyi sebagai pembunuh bayaran untuk membunuh dan mengambil jantung Hamzah paman Nabi dan syahid agung untuk dimakannya mentah-mentah. Usaha menuntut bela ini dapat dicapainya. Setelah Mekah dibebaskan, bersamaan dengan ayahnya ia pun masuk Islam.
Setelah masuk Islam, ia menjadi salah seorang sekretaris Rasulullah saw. Ia pun ikut perang Hunain dan dengan gagah berani memperlihatkan keperwiraannya sebagai seorang putera bekas panglima dan mendapat pembagian rampasan perang bersama ayahnya melebihi yang lain karena keduanya masih muallaf (orang yang barn masuk Islam, yang mendapat jaminan hidup lebih dari orang yang sudah betul-betul beriman, supaya tidak murtad lagi).
Di zaman Khilafah Abubakar r.a., ia ikut bertempur melawan Romawi di Syam (Damsyiq) di bawah pimpinan kakaknya Yazid bin Abi Sofyan. Ketika Yazid wafat, Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan dan kemudian oleh Khalifah Abubakar r.a. ditetapkan, menjadi wall negeri Syam sebagai pengganti kakaknya itu.
Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khatthab r.a., ia masih menjadi wali negeri Damsyiq. Ketika Khalifah Umar r.a. meninjau Syam, beliau mendapatkan Muawiyah di Istananya yang sangat mewah; Umar berkata: “INI ADALAH KISRA (KAISAR) ARAB”!! Tidak lama setelah itu, karena berbagai alasan, Umar memberhentikan dari jabatannya dan Said bin Amir pelopor hidup sederhana menggantikan Muawiyah.
Pada masa Khalifah Utsman, Muawiyah diangkat kembali menjadi wall negeri seluruh Syria, termasuk Palestina. Banyak pengaduan rakyat kepada Khalifah Utsman tentang tindakan wall negeri ini, termasuk keberandalan puteranya. Akan tetapi sebagian besar surat pengaduan itu tidak disampaikan kepada Khalifah oleh sekretaris beliau yang bernama Marwam (saudara sepupu Muawiyah). Atas pengkhianatan Marwam initah timbulnya pemberontakan dan terbunuhnya Khalifah Utsman.
Muawiyah adalah seorang jenius, pintar dan cerdik, politisi dan panglima perang. la mampu menggunakan kekuasaan dan harta negara dalam mencari kawan dan merangkul bawahan.
Ia wafat pada tahun 60 hijrah dalam usia 78 tahun. Semoga Allah menerima amal baktinya.
Demikianiah sekelumit riwayat hidup Muawiyah yang serba singkat (Ed, Pen).
SumberBacaan :Ibnu Hajar al-hsqalani: Tahdzib Attahdzib Jilid 10. Dar Shadar, Beirut, 1968.
Izuddin bin al-atsir: Usdul Ghabah P Ma ‘rifatis Shahabah, As-Syu’b, Mesir, 1970.
Izuddin bin al-Atsir: AI-Kamil fil Tarikh, Dar Shadar, Beirut, 1965.
Khalid Muhammad Khalid: Ar-Rijal Haulal Raslll, Darul Kutub al-Arabiah, Beirut, 1973.
mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya:
“Siapa yang menyerukan marilah shalat, saya penuhi ….
Dan siapa yang mengatakan: marilah mencapai bahagia, sayaturuti….
Tetapi yang mengatakan: marilah bunuh saudaramu yang Muslimin dan marilah rampas harta bendanya, maka saya jawab: tidlak….!”
Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ada pula yang berdiri mendampingi Ali, membai’at dan pengangkatannya sebagai khalifahKaum Muslimin ….
Dan tahukah anda di pihak mana ‘Ammar berdiri waktu itu?
Di pihak siapakah berdirinya laki-laki yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Dan ambillah olehmu petunjuk yang dipakai oleh ‘Ammar sebagai bimbingan…. !”
Dan bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulu!lah saw. pernah pula bersabda:
“Barangsiapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi oleh Allah …. !”
Dan orang yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, maka beliau segera menyambut dengan sabdanya: “Selamat datang bagi orang baik dan diterima baik idzinkanlah ia masuk …. !”
Ia berdiri di samping Ali bin Abi Thalib, bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji! Ali adalah Khalifah Kaum muslimin, dan berhak menerima bai’at sebagai pemimpin ummat. Dan khilafat itu diterinmanya, karena memang ia berhak untuk itu dan lavak untuk menjabatnya .
Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan-keutamaan yang menjadikan bedudukannya di samping Rasulullah tak ubah bagai kedudukan Harun di samping Musa ….
Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya,’Ammar yang selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya, dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini.
Dan menurut keyakinannya, tak seorang pun berhak atas hal ini dewasa itu selain Imam Ali, oleh sebab itulah ia berdiri di sampingnya ….
Dan Ali r.a. sendiri merasa gembira atas sokongan yang diberikannya itu, mungkin tak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran ‘Ammar datang kepadanya dan berdiri di sisinya ….
Kemudian datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Dan ‘Ammar ikut bersamanya. Waktu itu usianya telah 93 tahun .
Apa dalam usia 93 tahun ia masih pergi ke medan juang …. ?
Benar …,selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas kewajibannya …. ! Bahkan ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang muda berusia 30 tahun ….
Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata mohon perlindungan berikut:
“Aku berlindung kepada Allah dari fitnah ….
Aku berlindung kepada Allah dari fitnah ….”.
Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan do’a yang tak putus lekang dari bibirnya. Dan setiap hari berlalu setiap itu pula ia memperbanyak do’a dan mohon perlindungannya itu …, seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampir juga.
Dan tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Maka di hari perang Shiffin walaupun sebagai telah kita katakan usianya telah 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.
Pandangan terhadap pertempuran ini telah dima’lumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:
“Hai ummat manusia!
Marilah kita berangkat menuju gerombolan yang mengaku-ngaku hndak menuntutkan bela Utsman!
Demi Allah! Maksud mereka bukanlah hendak menuntutkan belanya itu, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka. Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu memeluk Agama. Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh Kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran …. !
Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan penguasa adikara… .!”
Kemudian diambilnya bendera dengan tangannya, lain dikibarkannya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru:
“Demi Dzat yang menguasai nyawaku …. ! Saya telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah saw., dan inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini ….. !
Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya …. !
Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang haq, dan bahwa mereka di pihak yang bathil ….!”
Orang-orang mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran ucapannya.
Berkatalah Abu Abdirrahman Sullami:
“Kami ikut serta dengan Ali r.a. di pertempuran Shiffin, maka saya lihat ‘Ammar bin Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke sesuatu jurusan, atau turun ke sesuatu lembah, para shahabat Rasulullah pun mengikutinya, tak ubahnya ia bagai panji-panji bagi mereka ….!”
Dan mengenai ‘,Ammar sendiri, sementara ia menerjang dan menyusup ke medan juang, ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya…. Ramalan Rasulullah saw terang terpampang di ruang matanya dengan huruf-huruf besar:
“Ammar ahan dibunuh oleh golongan pendurhaha …’:
Oleh sebab itu suaranya bergema di serata arena dengan senandung ini:
“Hari ini daku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta …. Muhammad dan para shahabatnya …. !”
Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang sekeliiingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring yang menggetarkan:
“Dulu kami hantam kalian di saat diturunkannya.
Kini kami hantam lagi kalian karena menyelewengkannya
Tebasan maut menghentikan niat jahat
Dan memisahkan kawanan pengkhianat
Atau al-Had berjalan kembali pada relnya”
Maksudnya dengan sya’irnya itu, bahwa para shahabat yang terdahulu dan ‘Ammar termasuk salah seorang di antara mereka. Dulu telah memerangi golongan Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan ayah Muawiyah pemanggul panji-panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin …. Mereka perangi orang-orang itu karena secara terus terang al-Quran menitahkannya disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik.
Dan sekarang di bawah pimpinan Muawiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun al-Quranul Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka, tetapi menurut ijtihad ‘Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pengertiannya terhadap maksud dan tujuan al-Quran, meyakinkan dirinya akan kehausan memerangi mereka, sampai barang haq yang ditumpas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama-lamanya ….
Juga maksudnya, bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Agama dan kafir kepada al-Quran …. Dan sekarang meueka menggempur orang-orang itu karena mereka menyelewengkan Agama dan menyimpang dari ajaran al-Quranul Karim serta mengacaukan ta’wil dan salah menafsirkannya, dan mencoba hendak menyesuaikan tujuan ayat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi…. !
Maka tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol dengan gagah berani. Dan sebelum ia berangkat ke rafiqul A’la, ia tanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan ditinggalkannya sebagai contoh teladan perjuangannya yang besar dan mulia lagi berkesan dan mendalam ….
Orang-orang dari pihak Mu’awiyah mencoba sekuat daya untuk menghindari ‘Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya hingga ternyata bagi manusia bahwa merekalah “golongan pendurhaka”.
Tetapi keperwiraan ‘Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara juga, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Maka sebagian dari anak buah Mu’awiyah mengintai-ngintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga setelah kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan tewaslah ‘Ammar di tangan tentara Mu’awiyah ……
Sebagian besar dari tentara Mu’awiyah terdiri dari orang-orang yang barn saja masuk Agama Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah bertalu-talunya genderang kemenangan terhadap kebanyakan negeri yang dibebaskan Islam, balk dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persi.
Maka mereka inilah sebenarya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api peuang saudara yang dimulai oleh pembangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai Khalifah dan Imam …. ! Jadi mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.
Dan bagaimana juga gawatnya pertikaian ini, sedianya akan dapat diselesaikan dengan jalan damai andainya masih terpegang dalam tangan Muslimin pertama. Tetapi demi bentuknya jadi meruncing, ia jatuh ke dalam tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli akan nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar….
Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar dan ramalan Rasulullah saw. yang didengar oleh semua shahabatnya sewaktu mereka sedang membina masjid di Madinah di masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut ke mulut:
“Aduhai Ibnu Sumayyah …,ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!”
Maka sekarang tahulah orang-orang siapa kiranya golongan pendurhaka itu …, yaitu golongan yang membunuh ‘Ammar …, yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah …. !
Dengan kenyataan ini semangat dan kepercayaan pengikut-pengikut Ali kian bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia-sedia hendak memisahkan diri dan bergabung ke pihak Ali ….
Mengenai Mu’awiyah, demi mendengar peristiwa yang telah terjadi ia segera keluar mendapatkan orang banyak dan menyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meuamalkan bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak …. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya itu …. ? Kepada orang-orang sekeliling diserukannya: “Yang telah membunuh ‘Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang ….!”
Maka tertipulah dengan ta’wil yang dicari-cari ini orang-orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, sementara pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan ….
Adapun ‘Ammar, ia dipangku oleh Imam Ali ke tempat ia menshalatkannya bersama Kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya! Benar, dengan pakaian yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci! Karena tidak satu pun dari sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang suci utama dari tingkatan ‘Ammar…. !
Dan Kaum Muslimin pun berdiri keheran-heranan di kuburnya …. ! Semenjak beberapa saat yang lalu ‘Ammar berdendang di depan mereka di atas arena perjuangan …,hatinya penuh dengan kegembiraan, tak ubah bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman tiba-tiba dibawa pulang, dan terlompatlah dari mulutnya seruan:
“Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta ….
Dengan Muhammad saw dan para shahabatnya….!”
Apakah ia telah mengetahui hari yang mereka janjikan akan bertemu dan waktu yang sangat ia tunggu-tunggu …. ?
Para shahabat saling jumpa-menjumpai dan bertanya: “Apakah anda masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasululiah saw. …,dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu sabdanya:
“Surga telah merinduhan ‘Ammar ….’:
“Benar”, ujar yang lain. “dan waktu itu juga disebutnya namanama lain yang lain, di antaranya ‘Ali, Salman dan Bilal ….”.
Nah, bila demikian halnya, maka surga benar-benar telah merindukan ‘Ammar …. ! Dan jika demikian, maka telah lama surga merindukaya, sedang kerinduannya tertangguh, menunggu ‘Ammar menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya …. Dan tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira.
Maka sekarang ini, tidakkah sudah selayaknya ia memenuhi panggilan rindu yang datang menghimbau dari haribaan sura …. ? Menang, datanglah saatnya ia mengabulkan panggilan itu, karena tak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula …!
Demikian dilemparkannya tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu .
Dan ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para sahabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam di tempat bahagia …, nun di sana dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti .

Taubatnya IBNU JAMUH

Ia adalah ipar dari Abdullah bin Ami bin Harem, karena menjadi suami dari saudara perempuan Hindun bintj Amar; Ibnul Jamuh merupakan adalah seorang tokoh penduduk Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah….
Ia didahului masuk Islam oleh putranya Mu’adz bin Arnr yang termasuk kelompok 70 peserta bai’at ‘Aqabah. Bersama shahabatnya Mu’adz bin Jabal, Mu’adz bin Amr ini menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah dengan keberanian luar biasa sebagai layaknya pemuda Mu’min yang gagah perwira….

Telah menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madinah, menyediakan di rumah masing~masing duplikat berhala-berhala besar yang terdapat di-tempat-tempat pemujaan umum yang.dikunjungi oleh orang banyak. Maka sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin Amru bin Jamuh juga mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf.
Putranya, Mu’adz bin Amr bersama temannya Mu’adz bin Jabal telah bermufakat akan menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang permainan dan penghinaan. Di waktu malam mereka,menyelinap ke dalam rumah, lain mengambil berhala itu dan membuangya ke dalam Lubang yang biasa digunakan manusia untuk membuang hajatnya.
Pagi harinya Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa, maka dicarinyalah berhala itu dan akhirnya ditemukannya di tempat pembuangan hajat.
Bukan main marahnya Amr, lain bentaknya: “Siapa yang telah melakukan perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita malam tadi…?”
Kemudian dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan dibelinya wangi-wangian.
Malam berikutnya, berdua Mu’adz bin Amr dan Mu’adz bin Jabal memperlakukan berhala itu seperti pada malam sebelumnya. Demikianlah pula pada malam-malam selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan, Amar mengambil pedangnya lalu menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata: ”Jika kamu betul-betul dapat memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu … !”
Pagi-pagi keesokan harinya Amr tidak menemukun berhalanya di tempat biasa… tetapi ditemukannya kali ini di tempat pembuangan hajat itu tidak sendirian, berhala itu terikat bersama bangkai seekar aniing dengan tali yang kuat, Dan selagi ia dalam keheranan, kekeeewaan serta amarah, tiba-tiba datangtah ke tempatnya itu beberapa orang hangsawan Madinah yang telah masuk Islam.
Sambil menunjuk kepada berhala yang tergeletak tidak berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu, mereka mengajak akal budi dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta membeberkan kepadanya perihat Tuhan yang sesungguhnya, Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya.
Begitupun tentang Muhammad shallallahu alaihi wasalam orang yang iujur dan terpercaya, yang muneul di arena kehidupan ini untuk memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan untuk menyesatkan. Dan mengenai Agama. Islam yang datang untuk membebaskan manusia dari belenggu segala macam belenggu dan menghidupkan pada mereka rub Allah serta menerangi dalam hati mereka dengan cahaya-Nya.
Maka dalam beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya … Beberapa saat kemudian ia pergi, dibersihkahnya pakaian dan ·badannya lain memakai minyak wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening tegak dan jiwa bersinar ia pergi untuk bai’at kepada Nabi teiakhir, dan menempati kedudukannya di barisan orang-orang- beriman.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh, yang merupakan pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa mereka sampai mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa… ? Kenapa akal fikiran mereka tak dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan ketololan itu … ? Dan kenapa sekarang ini …setelah mereka menganut Islam dan memberikan pengurbanan … kita menganggap mereka sebagai orang-orang besar…..?
Di masa sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, karena bagi anak kecil sekalipun tak masuk dalam akalnya akan mendirikan di rumahnya barang yang terbuat dari kayu lalu disembahnya …, walaupun masih ada para ilmuwan yang menyembah patung.
Tetapi di zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka luas untuk menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana kecerdasan dan daya fikir mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi kuno tersebut ….
Sebagai contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di masa Perikles, Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai tingkat berfikir yang menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para filosof, tokoh-tokoh pemerintahan sampai kepada rakyat biasa, mempercayai patung-patung yang dipahat, dan memujanya sampai taraf yang amat hina dan memalukan! Sebabnya ialah karena rasa keagamaan di masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak mencapai garis yang sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka….
Amr ibnul Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah Rabbul-Alamin. Dan walaupun dari semula ia telah berbai’at pemurah dan dermawan,tetapi Islam telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga seluruh harta kakayaannya diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan seperjuangannya.
Pernah Rasulullab shallallahu alaihi wasalam menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu suku Amr ibnul Jamuh, katanya: “Siapakah yang menjadi pemimpin kalian, hai Bani Salamah?” Ujar mereka: “AlJaddu bin Qeis, hanya sayang ia kikir …. “. Maka sabda Rasulullah pula: “Apa lagi penyakit yang lebih parah dari kikir!
Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting, Amr ibnul Jamuh…!”
Demikianlah kesaksian dari Rasululiah shallallahu alaihi wasalam ini merupakan penghormatan besar bagi Amr….. ! Dan mengenai ini seorang penyair Anshar pernah berpantun:
“Amr ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya merajalela, dan memanng wajar, bila ia dibiarkan berkuasa, jika datang permintaan, dilepasnya kendali hartanya, silakan ambil, ujarnya, karena esok ia akan kembali ,berlipatganda!”
Dan sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka Amr ibnul Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan jiwa raganya… ! Tetapi betapa caranya..? Kakinya yang pincang menjadi penghadang badanya untuk ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat orang putra, semuanya beragama islam dan semuanya satria bagaikan singa, dan ikut bersama Nabi shallallahu alaihi wasalam dalam setiap peperangan serta tabah dalam menunaikan tugas perjuangan ….
Amr telah berketetapan hati dan telah menyiapkan peralatannya untuk turut dalam perang Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar ia mengurungkan maksudnya dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa dengan larangan dari Nabi.
Nabi pun menyampaikan kepada Amr bahwa Islam membebaskan dirinya dari kewajiban perang, dengan alasan ketidak mampuan disebabkan cacad kakinya yang berat itu. Tetapi ia tetap mendesak dan minta diidzinkan, hingga Rasulullah terpaksa mengeluarkan perintah agar ia tetap tinggal di Madinah.
Sekarang datanglah Masanya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw. memohon kepadanya agar diidzinkan turut, katanya: “Ya Rasulallah, putra-putraku bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama anda. Demi Allab, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut surga… !’·
Karena permintaannya yang amat sangat, Nabi saw memberinya idzin Untuk turut. Maka diambilnya alat-alat senjatanya, dan dengan hati yang diliputi oleh rasa puas dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat. Dan dengan suara beriba-iba ia memohon kepada Allah: “Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk menemui syahid, dan janganlah aku; dikembalikan kepada keluargaku…..!”
Dan kedua pasukan pun bertemulah dihari uhud itu….. Amr ibnul Jamuh bersama keempat putranya maju ke depan menebaskan pedangnya kepada tentara penyeru kesesatan dan pasukan syirik…..
Di tengah-tengah pertarungan yang hiruk pikuk itu Amr melompat dan bersijingkat, dan sekali lompat pedangnya menyambar satu kepala dari kepala-kepala orang musyrik. Ia terus melepaskan pukulan-pukulan pedangnya ke kiri ke kanan dengan tangan kanannya, sambil menengok ke sekelilingnya, seolah-olah merrgharapkan kedatangan Malaikat dengan secepatnya yang akan menemani dan meng awalnya masuk suga.
Memang, ia telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid dan ia yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, pastilah akan mengabulkannya. Dan ia rindu, amat rindu sekali akan berjingkat dengan kakinya yang pincang itu dalam surga, agar ahli surga itu sama mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw itu tahu bagaimana caranya memilih shahabat dan bagaimana pula mendidik dan menempa manusia….
Dan apa yang ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang yang berkelebat …, memaklumkan datangnya saat keberangkatan…..,yakni keberangkatan seorang syahid yang mulia, menuju surga jannatul khuldi, surga Firdausi yang abadi… !
Dan tatkala Kaum Muslimin memakamkan-para syuhada mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam mengeluarkan perintah yang telah kita dengar dulu, yaitu: -
“Perhatikan, tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup mereka adalah dua orang shahabat yang setia dan bersayang-sayangan .. _ !”
Kedua shahabat yang bersayang-sayangan dan telah menemui syahid itu dikuburkan dalam sebuah makam, yakni dalam pangkuan tanah yang menyambut jasad mereka yang suci setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar biasa.
Dan setelah beralu mesa selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan mereka, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan disebabkan digalinya sebuah mata air yang dialirkan Muswiyah melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada.
Kiranya mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan mereka: “Jasad mereka menjadi lembut, dan ujung-ujung anggota tuhuh mereka jadi melengkung … !”
Ketika itu Jabir bin Abdullah masih hidup. Maka bersama keluarganya ia pergi memindahkan kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta kerangka bapak kecilnya Amr ibnul Jamuh …. Kiranya mereka dapati kedua mereka dalam kubur seolah-olah sedang tidur nyenyak .. .:. Tak sedikit pun tubuh mereka dimakan tanah, dan dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis alamat ridha dan bangga yang telah terlukis semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu.
Apakah anda sekalian merasa heran … ? Tidak, jangan tuan-tuan merasa heran … ! Karena jiwa-jiwa besar yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah tujuan hidupnya, membuat tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat kediamannya, memiliki semaeam ketahanan yang dapat menangkis sebab-sebab kelapukan dan mengatasi beneana-bencana tanah.

Atha' bin AbiRobah

“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail.
Tersebutlah, Sulaiman bin Abdul Malik, seorang Khalifah kaum muslimin dan salah seorang raja agung yang pernah bertahta di muka bumi sedang berthawaf di sekeliling Ka’bah dengan kepala terbuka dan bertelanjang kaki. Dia hanya mengenakan kain sarung dan selendang.
Kondisinya kala itu sama seperti saudara-saudaranya fillah yang menjadi rakyat jelata. Sementara di belakangnya ada dua orang putranya, keduanya adalah dua anak muda yang keceriaan wajahnya bagaikan bulan purnama dan wangi dan kilauannya ibarat bunga yang sedang mekar.

Begitu khalifah menyelesaikan thawafnya, beliau menengok ke arah salah seorang pengawalnya sembari berkata,
“Di mana sahabatmu?.”
Orang itu menjawab, “Dia di sana sedang shalat”, Sambil menunjuk ke pojok Barat Masjid Al-Haram. Lalu Khalifah dengan diikuti kedua putranya menuju tempat yang ditunjuk oleh pengawal tersebut.
Para pengawal pribadinya ingin mengikuti khalifah guna melebarkan jalan bagi dan melindunginya dari suasana berdesak-desakan. Akan tetapi Khalifah melarang mereka melakukan hal itu sembari berkata,
“Para raja dan rakyat jelata sama kedudukannya di tempat ini. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari orang lain, kecuali berdasarkan penerimaan (terhadap amalnya) dan ketakwaan. Boleh jadi ada orang yang kusut dan lusuh berdebu datang kepada Allah, lalu Allah menerima ibadahnya dan pada saat yang sama, para raja tidak diterima oleh-Nya.
Kemudian Khalifah berjalan menuju orang tersebut, lalu dia mendapatinya masih melaksanakan shalat, khusyu’ di dalam ruku’ dan sujudnya. Sedangkan orang-orang duduk di belakang, di sebelah kanan dan kirinya, lalu Khalifah duduk di barisan paling belakang dari majlis tersebut dan mendudukkan kedua anaknya di situ.
Mulailah dua anak muda Quraisy ini mengamati laki-laki yang dituju Amirul mu’minin (bapak mereka) dan duduk bersama orang-orang awam lainnya; menunggunya hingga selesai dari shalatnya.
Ternyata orang itu adalah seorang tua yang berasal dari Habasyah, berkulit hitam, berambut keriting lebat dan pesek hidungnya. Jika dia duduk tampak bagaikan gagak hitam.
Ketika orang itu telah selesai dari shalatnya, dia menoleh ke arah dimana Khalifah berada. Lalu Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah memberi salam dan orang itu membalasnya.
Saat itulah Khalifah menyongsongnya dan bertanya tentang manasik haji, dari satu hal ke hal lainnya, dan orang itu menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang tuntas dan memerincinya sehingga tidak memberikan kesempatan lagi bagi si penanya untuk bertanya lagi. Dan dia juga menisbahkan setiap perkataan yang diucapkannya kepada sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Khalifah telah selesai mengajukan pertanyaannya, beliau mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah membalas anda dengan kebaikan,” dan beliau berkata kepada kedua putranya, “Berdirilah,” lalu keduanya berdiri… Kemudian mereka bertiga berlalu menuju tempat sa’i.
Ketika mereka bertiga di pertengahan jalan menuju tempat sa’i, antara Shafa dan Marwa, kedua anak muda itu mendengar ada orang-orang yang berseru,
“Wahai kaum muslimin, siapapun tidak boleh memberi fatwa kepada orang-orang di tempat ini, kecuali ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dan jika dia tidak ada, maka Abdullah bin Abi Nujaih.
Maka salah satu dari kedua anak muda itu menoleh kepada ayahnya seraya berkata,
“Bagaimana mungkin pegawai Amirul mu’minin bisa menyuruh orang-orang supaya tidak meminta fatwa kepada siapapun selain kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah dan sahabatnya kemudian kita telah datang meminta fatwa kepada orang ini?… seorang yang tidak peduli terhadap kehadiran Khalifah dan tidak memberikan penghormatan yang layak terhadapnya?.”
Maka Sulaiman berkata kepada putranya,
“Orang yang telah kamu lihat -wahai anakku- dan yang kamu lihat kita tunduk di depannya inilah ‘Atha’ bin Abi Rabah, pemilik fatwa di Masjidil Haram dan pewaris Abdullah bin Abbas di dalam kedudukan yang besar ini.”
Kemudian Khalifah melanjutkan perkataannya,
“Wahai anakku, belajarlah ilmu, karena dengan ilmu orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar dan budak-budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena ‘Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Mekkah. Akan tetapi, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil di jalan ilmu. Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian: Satu bagian untuk majikan perempuannya, mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna. Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, ‘Abdullah bin Umar, ‘Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya radliyallâhu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fiqih dan riwayat dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
Ketika Majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap ‘Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Mudah-mudah Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Semenjak hari itu, ‘Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya, tempat dia berteduh dan sebagai sekolahan yang dia belajar di dalamnya, sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan keta’atan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjid Haram menjadi tempat tinggal ‘Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Seorang tabi’i yang mulia ‘Atha’ bin Abi Rabah ini telah sampai kepada kedudukan yang sangat tinggi di dalam bidang ilmu dan sampai kepada derajat yang tidak dicapai, kecuali oleh beberapa orang semasanya.
Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Umar sedang menuju ke Mekkah untuk beribadah umrah. Lalu orang-orang menemuinya untuk bertanya dan meminta fatwa, maka ‘Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya sangat heran kepada kalian, wahai penduduk Makkah, mengapa kamu mengerumuniku untuk menanyakan suatu permasalahan, sedangkan di tengah-tengah kalian sudah ada ‘Atha’ bin Abi Rabah?!.”
‘Atha’ bin Abi Rabah telah sampai kepada derajat agama dan ilmu dengan dua sifat:
Pertama, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas jiwanya. Dia tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak berguna.
Kedua, Bahwa dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin atas waktunya. Dia tidak membiarkannya hanyut di dalam perkataan dan perbuatan yang melebihi keperluan.
Muhammad bin Suqah bercerita kepada pengunjungnya, “Maukah kamu mendengar suatu ucapan, barangkali ucapan ini dapat memberi manfaat kepadamu, sebagaimana ia telah memberi manfaat kepadaku?.”
Mereka berkata, “Baik.”
Dia berkata, “Pada suatu hari, ‘Atha’ bin Abi Rabah menasehatiku, Dia berkata, ‘Wahai keponakanku, Sesungguhnya orang-orang sebelum kami dahulu tidak menyukai perkataan yang sia-sia.” Lalu aku berkata, ‘Dan apa perkataan yang sia-sia menurut mereka?’ ‘Atha’ berkata, ‘Dahulu mereka menganggap setiap perkataan yang bukan membaca atau memahami Kitab Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perkataan sia-sia. Demikian pula dengan bukan meriwayatkan dan mengaji hadits Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam atau menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar atau ilmu yang dapat dibuat taqarrub kepada Allah Ta’ala atau kamu berbicara tentang kebutuhanmu dan ma’isyahmu yang harus dibicarakan Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepadaku dan berkata, Apakah kamu mengingkari “sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) ” (Al-Infithar, ayat: 10)
Dan bersama setiap kamu ada dua malaikat “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir “(Qaaf, ayat: 17-18).
Kemudian dia berkata, “Apakah salah seorang di antara kita tidak malu, jika buku catatannya yang dia penuhi awal siangnya dibuka di depannya, lalu dia menemukannya apa yang tertulis di dalamnya bukan urusan agamanya dan bukan urusan dunianya.”
Allah Azza wa Jalla benar-benar menjadikan ilmu ‘Atha’ bin Abi Rabah bermanfaat bagi banyak golongan manusia. Di antara mereka ada orang-orang yang khusus ahli ilmu dan ada orang-orang pekerja dan lain-lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bercerita tentang dirinya. Dia berkata: Aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku…yaitu bahwa aku ingin mencuckur rambutku supaya aku keluar dari ihram, lalu aku sewaktu hendak cukur, aku berkata, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku?”
Maka tukang cukur itu menjawab:Mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda. Ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduklah dan berikan sekedar kerelaan.” Maka aku merasa malu dan aku duduk, namun aku duduk dalam keadaan berpaling dari arah kiblat.
Lalu tukang cukur itu menoleh ke arahku supaya aku menghadap kiblat, dan aku menurutinya, dan aku semakin grogi.
Kemudian aku menyilakannya supaya dia mencukur kepalaku sebelah kiri, tetapi, dia berkata, “Berikan bagian kanan kepala anda, lalu aku berputar. Dan mulailah dia mencukur kepalaku, sedangkan aku terdiam sambil melihatnya dan merasa kagum kepadanya. Lalu dia berkata kepadaku, “Kenapa anda diam? Bertakbirlah.” Lalu aku bertakbir, sehingga aku berdiri untuk siap-siap pergi. Lalu dia berkata: Ke mana anda akan pergi? Maka aku menjawab, “Aku akan menuju kendaraanku.” Lalu dia berkata, shalatlah dua rakaat, kemudian pergilah kemana anda suka.” Lalu aku shalat dua rakaat dan aku berkata di dalam hati, “Seorang tukang cukur tidak akan berbuat seperti ini, kecuali dia adalah orang yang berilmu.” Maka aku berkata kepadanya: Dari mana anda dapatkan manasik yang anda perintahkan kepadaku ini?
Maka dia berkata: Demi Allah, Aku telah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan aku mengarahkan orang lain kepadanya.
Dunia telah berdatangan kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah namun dia berpaling dan menolaknya dengan keras Dia hidup sepanjang umurnya hanya dengan mengenakan baju yang harganya tidak melebihi lima dirham.
Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Utsman bin ‘Atha’ Al-Khurasani, dia berkata, “Aku di dalam suatu perjalanan bersama ayahku, kami ingin berkunjung kepada Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kami telah berjalan mendekati Damaskus, tiba-tiba kami melihat orang tua di atas Himar hitam, dengan mengenakan baju jelek dan kasar jahitannya. serta memakai jubah lusuh dan berpeci. Tempat duduknya terbuat dari kayu, maka aku tertawakan dia dan aku berkata kepada ayah, “Siapa ini?” Maka ayah berkata, “Diam, ini adalah penghulu ahli fiqih penduduk Hijaz ‘Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika orang itu telah dekat dengan kami, ayah turun dari keledainya.
Orang itu juga turun dari himarnya, lalu keduanya berpelukan dan saling menyapa. Kemudian keduanya kembali menaiki kendaraannya, sehingga keduanya berhenti di pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Ketika keduanya telah duduk dengan tenang, keduanya dipersilakan masuk. Ketika ayah telah ke luar, aku berkata kepadanya, Ceritakanlah kepadaku; tentang apa yang anda berdua lakukan, maka ayah berkata, “Ketika Hisyam mengetahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, beliau segera mempersilakannya masuk- dan demi Allah, aku tidak bisa masuk, kecuali karena sebab dia, dan ketika Hisyam melihatnya, beliau berkata, Selamat datang, selamat datang. Kemari, kemari, dan terus beliau berkata kepadanya, Kemari, kemari, sehingga beliau mempersilakan duduk bersamanya di atas permadaninya, dan menyentuhkan lututnya dengan lututnya.” Dan di antara orang-orang yang duduk adalah orang-orang besar, dan tadinya mereka berbincang-bincang lalu mereka terdiam. Kemudian Hisyam menghadap kepadanya dan berkata, “Apa keperluan anda wahai Abu Muhammad?” ‘Atha’ berkata, “Wahai Amirul Mu’minin; Penduduk Haramain (Makkah dan Madinah) adalah penduduk Allah dan tetangga Rasul-Nya, berikanlah kepada mereka rizki-rizki dan pemberian-pemberian. Maka Hisyam menjawab, “Baik, Wahai ajudan; Tulislah untuk penduduk Makkah dan Madinah pemberian-pemberian dan rizki-rizki mereka untuk waktu satu tahun.
Kemudian Hisyam berkata, Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?.” ‘Atha’ berkata, “Ya wahai Amirul mu’minin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd adalah inti arab dan pemuka Islam, maka berikanlah kepada mereka kelebihan sedekah mereka.” Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, Tulislah, bahwa kelebihan sedekah mereka dikembalikan kepada mereka.”
“Apakah ada keperluan lain selain itu wahai Abu Muhammad?” Ya wahai Amirul mu’minin, Kaum muslimin yang menjaga di perbatasan, mereka berdiri di depan musuh-musuh anda, dan mereka akan membunuh setiap orang yang berbuat jahat kepada kaum muslimin, maka berikanlah sebagian rizki kepada mereka, karena kalau mereka mati, maka perbatasan akan hilang.”
Maka Hisyam berkata, “Baik, wahai ajudan, tulislah, supaya dikirim rizki kepada mereka.” “Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?”
‘Atha’ berkata, “Ya, wahai Amirul mu’minin; Orang-orang kafir dzimmi supaya tidak dibebani dengan apa yang mereka tidak mampu, karena apa yang anda tarik dari mereka adalah merupakan bantuan untuk anda atas musuh anda.”
Maka Hisyam berkata, “Wahai ajudan tulislah untuk orang-orang kafir dzimmi, supaya mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu.”
“Apakah ada keperluan lain wahai Abu Muhammad?
‘Atha’ berkata, Ya, Bertakwalah kepada Allah di dalam diri anda wahai Amirul mu’minin, dan ketahuilah bahwa anda diciptakan di dalam keadaan sendiri. dan anda akan mati didalam keadaan sendiri…dan anda akan dibangkitkan di dalam keadaan sendiri dan anda akan dihisab dalam keadaan sendiri dan demi Allah tidak seorang pun dari orang yang anda lihat bersama anda.”
Maka Hisyam menyungkurkan wajahnya ke tanah dan menangis, lalu ‘Atha’ berdiri dan aku berdiri bersamnya.
Dan ketika kami telah sampai ke pintu, ternyata ada seseorang yang mengikuti ‘Atha’ dengan membawa kantong, dan aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, dan orang itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Amirul mu’minin mengirim ini kepada anda.” Maka ‘Atha’ berkata, “Maaf aku tidak akan menerima ini.”
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ” (Asy-Syuara’, ayat:109)
Demi Allah, Sesungguhnya ‘Atha’ menemui Khalifah dan keluar dari sisinya tanpa meminum setetes air pun.
Selanjutnya ‘Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga seratus tahun. Umur itu dia penuhi dengan ilmu, amal, kebaikan dan takwa.
Dan dia membersihkannya dengan zuhud dari kekayaan yang ada di tangan manusia dan sangat mengharap ganjaran yang ada di sisi Allah.
Ketika dia wafat, dia di dalam keadaan ringan dari beban dunia. Banyak berbekal dengan amal akhirat. Selain itu, Dia melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali, beliau melakukan di dalammya 70 kali wukuf di arafah.
Di sana dia memohon kepada Allah keridlaan-Nya dan surga-Nya. Dan memohon perlindungan kepada-Nya dari murka-Nya dan dari neraka-Nya.

UMMU MA'BAD Wanita tua yang menyaksikan mu'jizat rasulullah

September 622 M. Secara diam-diam, Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA, Amir bin Fahira dan seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith bergegas meninggalkan Makkah menuju Madinah.
Duabelas tahun sudah Rasulullah menyebarkan agama Allah di kota Makkah, namun tekanan dari kafir Quraisy kian gencar.

Bahkan, kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Rasulullah beserta sahabatnya yang telah masuk Islam. Guna menghindari kekejaman kafir Quraisy, Rasulullah pun kemudian hijrah ke kota Madinah.
Tanpa perbekalan yang memadai, Rasulullah berangkat menuju Madinah. Sebuah perjalanan yang tak mudah dan tak juga ringan.

Seperti diuraikan dalam buku Perempuanperempuan Mulia di Sekitar Rasulullah yang ditulis Muhammad Ibrahim Salim, di tengah perjalanan menuju kota Madinah, rombongan Rasulullah lewati sebuah kemah milik seorang wanita tua bernama Ummu Ma'bad di wilayah Qudaid -antara Makkah dan Madinah. Saat itu, Ummu Ma'bad sedang duduk di dekat kemahnya. Lantaran perbekalan yang minim, rombongan Rasulullah pun singgah ke kemah Ummu Ma'bad.

Rasulullah dan sahabatnya ingin membeli daging dan kurma dari Ummu Ma'bad. Namun, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Saat itu, wilayah Qudaid sedang didera musim paceklik. Lalu Rasulullah melihat seekor kambing yang ada di dekat kemah Ummu Ma'bad.
Rasulullah pun bertanya, "Kambing betina apa ini wahai Ummu Ma'bad?", Ummu Ma'bad menjawab, "kambing betina tua yang sudah ditinggalkan oleh kambing jantan." Rasulullah kembali bertanya, "Apakah ia masih mengeluarkan air susu?" Ummu Ma'bad menjawab, "Bahkan ia tak mengandung air susu sama sekali.'' Lalu Rasulullah meminta izin, "Bolehkah aku memerah air susunya?" Ummu Ma'bad menjawab, "Jika engkau merasa bisa memerahnya, maka silahkan lakukan.'' Nabi Muhammad SAW pun mengambil kambing tersebut dan tangannya mengusap kantong susunya dengan menyebut nama Allah dan mendo'akan Ummu Ma'bad pada kambingnya tersebut.

Tiba-tiba kambing itu membuka kedua kakinya dan keluarlah air susu dengan derasnya.
Kemudian Rasulullah meminta sebuah wadah yang besar lalu beliau memerasnya sehingga penuh. Beliau memberi minum kepada Ummu Ma'bad hingga ia puas, lalu beliau memberi minum rombongannya hingga mereka pun puas.

Setelah itu beliau pun minum. Beliau kemudian memerah susu untuk kedua kalinya hingga wadah tersebut kembali penuh, lalu susu itu ditinggalkan di tempat Ummu Ma'bad dan beliau pun membai'atnya. Setelah itu rombongan pun berlalu.

Tak lama, datanglah suami Ummu Ma'bad dengan menggiring kambing yang kurus kering, berjalan sempoyongan karena lemahnya. Setelah melihat susu, ia bertanya keheranan, "Darimana air susu ini wahai Ummu Ma'bad? padahal kambing ini sudah lama tidak hamil dan kita pun tidak memiliki persediaan susu di rumah?" Ummu Ma'bad menjawab, "Demi Allah, bukan karena itu semua.

Sesungguhnya seseorang yang penuh berkah telah melewati (rumah kita), sifatnya begini dan begitu." Abu Ma'bad berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentangnya wahai Ummu Ma'bad."

Ummu Ma'bad bertutur: "Aku melihat seorang yang tawadhu (rendah hati). Wajahnya bersinar berkilauan, baik budi pekertinya, dengan badannya yang tegap, indah dengan bentuk kepala yang pas sesuai bentuk tubuhnya.'' Ia adalah seorang yang berwajah sangat tampan. Matanya elok, hitam dan lebar, dengan alis dan bulu mata lebat nan halus. Suaranya bergema indah berwibawa, panjang lehernya idea, jenggot nya tumbuh tebal dan sangat kontras lagi sesuai warna rambutnya; rapi, rata pinggir-pinggirnya a (dengan jambangnya) dan antara rambut dan jenggotnya bersambung rapi.

Jika ia diam, nampaklah kewibawaannya. Jika ia berbicara nampaklah kehebatannya. Jika dilihat dari kejauhan, ia adalah orang yang paling bagus dan berwibawa. Jika dilihat dari dekat, ia adalah orang yang paling tampan, bicaranya gamblang, jelas, tidak banyak dan tidak pula sedikit. Nada bicaranya seperti untaian mutiara yang bergu guran.

Beliau berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Ia bagaikan sebuah dahan di antara dua dahan. Diantara ketiga orang itu, penampilannya paling bagus dan kedudukannya paling tinggi. Ia memiliki banyak teman yang me ngelilinginya. Jika ia berbicara, maka yang lain pun mendengarkannya. Jika ia memerintah, maka mereka segera melaksanakannya. Ia adalah orang yang ditaati, tidak cemberut dan bicaranya tidak sembarangan.

Abu Ma'bad berkata, "Demi Allah, ia adalah seorang dari Quraisy yang sedang diperbincangkan di kalangan kami di kota Makkah. Aku ingin menjadi sahabatnya. Sungguh aku akan melakukannya jika aku bisa menemukan jalan untuk mendapatkannya."
Sungguh terperinci sifat sifat Rasulullah yang dituturkan Ummu Ma'bad. Kisah Ummu Ma'bad sangat masyhur, diriwayatkan dari banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.

Amr bin Ash

Ada tiga orang gembong Quraisy yang amat menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap da’wahnya dan siksaan mereka terhadap shahabatnya.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdo’a dan memohon kepada Tuhannya agar menurunkan adzabnya pada mereka.
Tiba-tiba sementara ia berdo’a dan memohon itu, turunlah wahyu atas kalbunya berupa ayat yang mulia ini:
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Q.S. 3 Ali Imran: 128)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan do’a untuk menyiksa mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata.
Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima adzab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan mempereroleh rahmat karunia-Nya ….
Maka ‘Amr bin ‘Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjukiNya mereka jalan untuk menganut Islam, dan ‘Amr bin ‘Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani. …
Dan bagaimana pun juga sebagian dari pendiriannya yang arah pandangannya tak dapat kita terima, namun peranannya sebagai seorang sahabat yang mulia, yang telah memberi dan berbuat jasa, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya ….
Dan di sini di bumi Mesir sendiri, orang-orang yang memandang Islam itu adalah Agama yang lurus dan mulia, dan melihat pada diri Rasulnya shallallahu ‘alaihi wasallam rahmat dan ni’mat serta karunia, serta penyampai kebenaran utama, yang menyeru kepada Allah berdasarkan pemikiran dan mengilhami kehidupan ini dengan sebagian besar dari kebenaran dan ketaqwaan… , orang-orang yang beriman itu akan memendam rasa cinta kasih kepada laki-laki, yang oleh taqdir dijadikan alat-alat bagaimanapun untuk memberikan Islam ke haribaan Mesir, dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam … ! Maka alangkah tinggi nilai hadiah itu, dan alangkah besar jasa Pemberinya … ! Sementara laki-laki yang menjadi taqdir dan dicintai oleh mereka itu, itulah dia ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu.
Para muarrikh atau ahli-ahli sejarah biasa menggelari ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dengan “Penakluk Mesir”. Tetapi, menurut kita gelar ini tidaklah tepat dan bukan pada tempatnya. Mungkin gelar yang paling tepat untuk ‘Amr radhiyallahu ‘anhu ini dengan memanggilnya “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menimpakan kepada negeri ini serta rakyatnya perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi ….
Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa …. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar …. “, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.
Jika demikian halnya, ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir! Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami… !
‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, amat berharap sekali akan dapat menghindarkan penduduk Mesir dan orang-orang Kopti dari peperang agar pertempuran terbatas antaranya dengan tentara Romawi saja, yang telah menduduki negeri orang secara tidak sah, dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang ….
Oleh sebab itulah kita dapati ia berbicara ketika itu kepada pemuka-pemuka golongan Nasrani dan uskup-uskup besar mereka, katanya: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu …. Dan sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunaikan tugas risalahnya kemudian berpulang setelah meninggalkan kami di jalan lurus terang benderang.
Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami ialah memberikan kemudahan bagi manusia. Maka kami menyeru kalian kepada Islam ….Barang siapa yang memenuhi seruan kami, maka ia termasuk golongan kami, beroleh hak seperti hak-hak kami dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami …. dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan membayar pajak, dan kami berikan padanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk membebaskannya dari penjajah, dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya, sabdanya: -
“Sepeninggalku nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduknya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita … !”‘) HR. Muslim (1)
Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat … !”
‘Amr radhiyallahu ‘anhu menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pendeta menyerukan: “Sesungguhnya hubungan silaturrahmi yang diwasiatkan Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah suatu pendekatan dengan pandangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam… !”
Percakapan ini merupakan permulaan yang baik untuk tercapainya saling pengertian yang diharapkan antara ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dan orang Kopti penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya ….
‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu tidak lama sebelum dibebaskannya kota Mekah ….
Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja …. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlaq mulia di tanah Arab.
(1) Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa orang-orang Kopti di Mesir merupakan paman-paman dari Ismail shallallahu ‘alaihi wasallam. …. Karena ibunda Ismail Siti Hajar seorang wanita warga Mesir, diambil oleh Ibrahim shallallahu ‘alaihi wasallam. menjadi isterinya, sewaktu ia datang ke Mesir dan diberi hadiah oleh Fir’aun dan kemudian melahirkan Ismail ‘alaihissalam….
Maharaja Habsyi itu menanyakan kepada ‘Amr radhiyallahu ‘anhu kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah? “Benarkah begitu…?” tanya ‘Amr radhiyallahu ‘anhu kepada Negus. “Benar”, ujar Negus, “Turutlah petunjukku, hai ‘Amr dan ikutilah dia ! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya… !”
Secepatnya ‘Amr radhiyallahu ‘anhu terjun mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Robbul’alamin.
Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekah dengan maksud hendak bai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Demi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu katanya pada shahabat-shahabatnya : “Mekah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita …. ” Mula-mula tampil Khalid radhiyallahu ‘anhu dan mengangkat bai’at. Kemudian majulah ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dan katanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam … ! Aku akan bai’at kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu … !”
Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Hai ‘Amr! Bai’atlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya … !”
‘Amr radhiyallahu ‘anhu pun bai’at, dan diletakkannya kecerdikan dan keberaniannya dalam darmabaktinya kepada Agamanya yang baru ….
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpindah ke Rafiqul A’la, ‘Amr radhiyallahu ‘anhu sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintah Umar radhiyallahu ‘anhu, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Wahai, kenapa ‘Amr bin ‘Ash tidak menahan ambisi pribadinya untuk dapat berkuasa! Seandainya demikian, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini … !
Tetapi ambisinya ingin berkuasa ini, sampai suatu batas tertentu, hanyalah merupakan gambaran lahir dari tabiat bathinnya yang bergejolak dan dipenuhi bakat … !
Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa … ! Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu katanya: “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir … !”
Sungguh, sebenarnya ‘Amr atau Abu Abdillah tidak mengurangkan hak dirinya ini … ! Bahkan ketika bahaya-bahaya besar datang mengancam Kaum Muslimin, ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang amir … seorang amir yang cerdik dan licin serta berkemampuan, menyebabkannya percaya akan dirinya, serta yakin akan keunggulannya … !
Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu -seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya – menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Amirul Mu’minin ini ….
Bahkan ketika Amirul Mu’minin radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang telah digariskannya terhadap para pembesamya, dengan tujuan agar taraf hidup mereka setingkat atau hampir setingkat dengan taraf hidup umumnya rakyat biasa, maka khalifah tidaklah memecatnya, hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta dan barang ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, lalu meninggalkan untuknya separohnya, sedang yang separuhnya iagi hendaklah dibawanya ke Madinah untuk Baitul mal.
Seandainya Amirul Mu’minin radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa ambisi ‘Amr radhiyallahu ‘anhu terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya agak lalai terhadap tanggung jawabnya, tentulah jiwanya yang waspada itu tidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau agak sekejap pun … !
‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang berfikiran tajam, cepat tanggap dan jauh pandang … hingga Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu ‘anhu, setiap ia melihat seorang yang singkat akal, dipertepukkannya kedua telapak tangannya dengan keras karena herannya, Seraya katanya:
“Subhanallah … ! Sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu hanyalah Tuhan Yang Tunggal, keduanya sama benar … !”
Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras….
Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu disisipinya dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. Padahal itu tiada lain dari tipu muslihat yang istimewa yang oleh ‘Amr radhiyallahu ‘anhu digunakannya secara tepat dan dengan kecerdikan mengagumkan untuk membebaskan dirinya dari bahaya yang mengancam … !
Amirul Mu’minin Umar radhiyallahu ‘anhu mengenal bakat dan kelebihannya ini sebaik-baiknya, serta menghitungkannya dengan sepatutnya.
Oleh sebab itu sewaktu ia dikirimnya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, dikatakan orang kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani.
Jawaban Umar radhiyallahu ‘anhu ialah: “Kita hadapkan arthabon Romawi kepada arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti bagaimana akhir kesudahannya Ternyata bahwa pertarungan itu berkesudahan dengan kemenangan mutlak bagi arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang ulung ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, sehingga arthabon Romawi, meninggalkan tentaranya menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir …, yang tak lama antaranya akan disusul oleh ‘Amr radhiyallahu ‘anhu ke negeri itu untuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di angkasanya yang aman damai….
Tidak sedikit peristiwa, di mana kecerdikan dan kelicinan ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menonjol dengan gemilang! Dalam hal ini kita tidak memasukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa al-’Asy’ari pada peristiwa tahkim, yakni ketika kedua mereka menyetujui bahwa masing-masing akan menanggalkan Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma dari jabatan mereka, agar urusan itu dikembalikan kepada Kaum Muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata Abu Musa radhiyallahu ‘anhu melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara ‘Amr radhiyallahu ‘anhu tidak melaksanakannya ….
Sekiranya kita ingin menyaksikan bagaimana kelicinan serta kesigapan tanggapnya, maka pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan benteng Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di Mesir, atau menurut riwayat-riwayat lain, bersama arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di Syria … !
Yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh arthabon untuk berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya sewaktu ia hendak pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud mereka ….
‘Amr pun berangkat menemui komandan, tanpa sedikit pun menaruh curiga, dan setelah berunding mereka berpisahlah.
Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, terkilaslah olehnya di atas tembok, gerakan yang mencurigakan, hingga membangkitkan gerakan refleknya dengan amat cepatnya, dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang mengagumkan ….
Dan sekarang ia kembali mendapatkan komandan benteng dengan langkah-langkah yang tepat dan tegap serta kesadaran tinggi yang tak pernah goyah, seolah-olah ia tak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat dipengaruhi oleh rasa curiga Kemudian ia masuk ke dalam, lalu katanya kepada komandan: “timbul dalam hatiku suatu fikiran yang ingin kusampaikan kepada anda sekarang ini ….. Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan shahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam angkatan pertama masuk Islam, yang pendapat mereka biasa didengar oleh Amirul Mu’minin radhiyallahu ‘anhu untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Maka maksudku hendak membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulut anda apa yang telah kudengar, hingga mereka beroleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini … !”
Komandan Romawi itu secara bersahaja maklum karena nasib mujurnya, ‘Amr lolos dari lobang jarum, dengan sikap gembira ia menyetujui usul ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, hingga bila ‘Amr radhiyallahu ‘anhu nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya ‘Amr seorang Dan secara sembunyi-sembunyi hingga tidak diketahui oleh ‘Amr, dipertahankannyalah untuk tidak mengganggu ‘Amr dan menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi, guna menghabisi para pemimpin mereka yang utama ….
Lalu dilepasnya ‘Amr dengan besar hati, dan disalaminya amat hangat sekali …, disambut oleh ahli siasat dan tipu muslihat Arab itu dengan tertawa dalam hati ….
Dan di waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras dengan nada bangga dan mengejek, ‘Amr radhiyallahu ‘anhu kembali memimpin tentaranya menuju benteng.
Memang, kuda itu merupakan suatu makhluq lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya … !
Dan pada tahun ke-43 Hijrah, wafatlah ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu di Mesir, sewaktu ia menjadi gubernur di sana…. Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, itu secara bersahaja maklum bahwa kepergiannya katanya: “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka … !
Kemudian aku bai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku … !
Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitupun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian… !”
Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, katanya: “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan… ! Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku… !”
Demikianlah ia asyik dalam bermohon dan berhina diri hingga akhirnya ruhnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah Rabbul- ‘izzatl, sementara akhir ucapan penutup hayatnya, ialah : La ilaha illallah ….
Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuh kasamya….
Dan di atas tanahnya yang keras, majlisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, dinaungi oleh atap mesjidnya yang telah berusia lanjut “Jami’u ‘Amr”, yakni mesjid yang mula pertama didirikan di Mesir, yang disebut di dalamnya asma Allah Yang Tunggal lagi Esa serta dikumandangkan ke setiap pojoknya dari atas mimbarnya kaiimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Agama Islam.